Pernahkah kamu bertanya mengapa hari raya imlek selalu identik dengan warna merah? Nah, pada artikel kali ini, Besoklusa.com bakal membahasnya.
Kebudayaan warga Tionghoa memang tak bisa dilepaskan begitu saja dari kebudayaan nusantara. Pasang-surut salah satu etnis yang eksis di Indonesia selama ratusan tahun ini, telah dimantapkan kemunculannya di ruang publik sejak Presiden Abdurahman Wahid menjabat.
Sejak saat itulah wara-wiri tradisi Tionghoa menyapa warga lainnya sangat terasa. Anak-anak tersenyum ceria memandang barongsai yang meliuk-liuk bahagia.
Ditambah dengan wangi dupa dan riuh petasan yang mengiringi beberapa perayaannya. Namun yang lebih menonjol dari itu semua adalah perayaan imlek. Sebab, tradisi ini adalah penanda bagi dimulainya satuan waktu bernama tahun, tentu saja dalam tradisi Cina.
Di beberapa swalayan, atau toko kelontong milik koko dan cici yang berderet di ruas jalan pusat perdagangan hampir semua kota di Indonesia, dalam menyambut tahun baru selalu menyediakan kue keranjang.
Ada pula yang menambahkannya dengan kuaci, jeruk mandarin, kue mangkok, dan lapis legit yang memang menjadi ciri khas dari perayaan imlek. Tapi coba perhatikan, mengapa nuansa imlek selalu merah dan ada ornamen petasan atau mercon yang juga menyertainya?
Imlek, sebagaimana tradisi yang dilakoni umat manusia, selalu punya cerita yang panjang. Usia imlek menurut para pakar sejarah setidaknya telah berlangsung selama 4.000 tahun.
Imlek yang dalam bahasa China sendiri disebut Guo Nian telah mewarnai bangsa Cina dalam menapaki kehidupan, hingga kini menjadi raksasa di bidang ekonomi. Bagaimana kisah mula imlek sendiri?
Awal Mula
Dahulu kala, di negeri Tiongkok pernah hidup seekor raksasa yang sering muncul dari balik pegunungan. Raksasa yang bernama Nian ini selalu mengganggu penduduk kala musim dingin berakhir.
Ia memangsa apapun yang dimiliki oleh manusia. Agar selamat dari raksasa ini, penduduk yang ketakutan memberikan sesaji di depan rumahnya.
Hingga satu ketika, penduduk mengetahui Nian ketakutan ketika melihat seorang anak kecil memakai baju berwarna merah. Penduduk akhirnya berkesimpulan, Nian takut dengan warna merah.
Untuk itu, musim semi berikutnya, penduduk berhias dengan warna merah mulai dari cheongsam, yakni pakaian tradisional yang berwarna merah, lentera merah, pernak-pernik merah, hingga rumah yang dicat merah. Semuanya merah.
Di tempat dan cerita yang lain, Nian pun ketakutan ketika ia akan memamah ladang bambu penduduk. Pasalnya ladang bambu itu kemudian terbakar dan menimbulkan bunyi yang keras.
Sang raksasa lari ketakutan persis seperti melihat bocah yang memakai baju merah itu. Sehingga musim semi berikutnya, penduduk beramai-ramai membunyikan mercon dan petasan agar Nian tak mendatangi desa mereka.
Untunglah, seorang pendeta Tao bernama Honjun Laozu menjadikan Nian sebagai kendaraan tunggangannya. Mulai saat itu, selain telah dipersempit gerakannya dengan petasan dan warna merah, Nian pun tak lagi mengganggu penduduk.
Cerita dalam menyambut musim semi yang berhadapan dengan Nian itu kemudian mewarnai sistem penanggalan Cina yang berpatokan pada peredaran bulan yang berpadu dengan peredaran matahari.
Setiap tahun baru yang kebetulan bertepatan dengan musim semi di Cina disebut Guo Nian. Secara harfiah, Guo Nian berarti ‘mengusir Nian’, ya mengusir sang raksasa Nian.
Oleh karenanya, selain makanan, kue, dan buah yang telah disebutkan diatas, setiap perayaan imlek selalu dimeriahkan oleh petasan dan mercon yang dihiasi oleh ornamen warna merah.