Sampah selalu dijadikan tertuduh sebagai biang kerusakan lingkungan. Perbuatan yang membuang sampah secara sembarang pun seringkali dijadikan alibi bagi bertebarannya sampah dimana-mana. Namun pernahkah anda merasakan ketika sudah membuang sampah pada tempatnya, darimanakah datangnya plastik-plastik di selokan? Botol air mineral di pinggir jalan? Dan sampah-sampah yang membuat pandangan mata jadi terganggu, sementara anda dan mungkin kerabat dan tetangga yang lain sudah maksimal untuk membuang sampah pada tempatnya.
Persoalan sampah merupakan persoalan komunitas. Untuk itu, ada baiknya kita menengok sebuah kota kecil di Pulau Shikoku, Jepang, yakni Kamikatsu yang mengatur persoalan ini hingga warganya hidup tanpa sampah. Mereka telah menunjukkan bagaimana mengatasi persoalan sampah selama beberapa tahun, dan kini sudah terlihat hasilnya.
Sungai-sungai di Kamikatsu sangat jernih dan tentu saja bebas sampah, tak ada botol air mineral bertebaran di jalan, tak ada bungkus plastik tergeletak begitu saja, dan tak ada sisa-sisa barang yang tak berguna dibiarkan begitu saja dan menjadi sampah. Kamikatsu terbebas dari sampah. Bagaimana caranya?
Kamikatsu merupakan kota yang terletak di distrik Katsuura, perfektur Tokushima, Jepang. Kamikatsu dihuni oleh sekitar 2,000 orang yang menempati area dengan luas 109,68 km persegi. Untuk itulah, dengan komunitas yang kecil untuk ukuran kota ini, Kamikatsu berupaya bergabung dalam komunitas besar dunia dalam mengurangi produksi sampah.
Sejak dua belas tahun silam gerakan ‘no waste production‘ ini dicanangkan, Kamikatsu ternyata memimpin dan menjadi inspirasi tentang bagaimana sebuah kota mengelola sampahnya. Target Kamikatsu adalah menjadi kota yang benar-benar bebas sampah pada 2020.
Hal yang pertama dilakukan sejak gerakan tanpa sampah ini dicanangkan adalah kampanye membuang sampah pada tempatnya. Ini bukan saja menyediakan tempat sampah semata, namun bagaimana memilah sampah yang bukan saja organik dan anorganik, namun sesuai jenis, manfaat dan fungsinya. Jadi misalnya, sampah botol plastik air mineral akan dipisahkan menjadi tiga macam.
Botol air mineral itu dikumpulkan menjadi tiga macam sampah yakni sampah tutup botol, sampah plastik label, dan terakhir sampah plastik botolnya yang terlebih dulu diremuk. Itu baru satu sampah, belum lagi sampah yang lain.
Deputy Chief Officer Zero Waste Academy Kamikatsu, Akira Sakano, menjelaskan bahwa pada awalnya Kamikatsu melakukan pembakaran sampah secara terbuka, namun warga melihatnya sebagai bentuk tindakan yang mencemari lingkungan, dan pada saat yang sama juga mengganggu kesehatan warga sendiri. Jadi gerakan tanpa sampah itu mulai diinisiasi oleh warga sejak tahun 2003.
Kamikatsu membagi 34 kategori sampah, sehingga dalam satu rumah tangga, ada banyak sekali tempat penampungan sampah yang disediakan secara mandiri. Warga memilah sendiri sampah-sampahnya, meringkasnya agar simpel, dan membiarkan barang sisa rumah tangga yang sedianya bakal digunakan ulang untuk membuat kerajinan.
Di tempat penampungan akhir, pemilahan oleh warga itu memang tidak sempurna, tapi petugas di tempat tersebut begitu cekatan untuk memilahnya sesuai dengan jenis sampahnya. Dan sebagaimana telah disinggung, ada tempat produksi untuk sampah-sampah yang masih bisa dipergunakan kembali seperti sisa kain, maupun mainan yang tidak terpakai untuk dipergunakan kembali sebagai barang kebutuhan sehari-hari dan aksesoris.
Sementara untuk sampah organik, warga membuangnya di tempat penampungan yang berfungsi secara langsung sebagai pembuatan kompos dan pupuk organik. Bahkan untuk pembuangan kotoran dan air seni, Kamikatsu memiliki sistem agar ‘pembuangan’ ini tidak langsung ke tanah dan mencemari air. Kamikatsu menggunakan teknologi untuk membuat pembuangan manusia tersebut menjadi pupuk. Sehingga selain tanah di Kamikatsu subur, airnya pun jernih dan tak berbau.
Bagaimana? Tertarik untuk diterapkan di kota anda? Dengan bekal disiplin, saling percaya dan sinergi antar pemerintah dan warganya, bukan tidak mungkin ada begitu banyak Kamikatsu di kota-kota Indonesia.