Perempuan muda sekitar usia belasan, berjalan sembari menyungging senyum dengan kebaya dan sanggul yang berhias aneka bunga dengan beragam warna. Ia menghampiri teman-temannya di teras rumah salah satu tetua desa.
Setahun sekali, mereka berdandan dengan tema dan riasan serupa. Ya, mereka merupakan gadis-gadis yang disiapkan menjadi bagian dari salah satu upacara adat di Indramayu, Ngarot.
Ngarot / foto: Dhedez Anggara |
Ngarot merupakan adat yang biasa ditemui di wilayah kecamatan Lelea, Indramayu. Salah satu jenis upacara adat ini menandai datangnya musim penghujan.
Ngarot berasal dari Bahasa Sunda, yakni nga-rot yang lebih dekat dengan ujaran ngaleut yang berarti minum dan ngare’et yang memiliki arti menyatukan atau mengumpulkan. Bahasa Sunda masih dipakai oleh kalangan orang tua di wilayah Lelea, karena pada jaman dulu, daerah ini pernah menjadi bagian dari Kerajaan Sumedang Larang.
Ngarot yang berarti berkumpul, minum, menyatukan dan segala makna lain tidak ada sama sekali dasarnya ketika mengistilahkan prosesi adatnya dengan minum-minuman arak dan sejenisnya.
Prosesi yang dimaksud adalah penyerahan benih padi, kendi berisi air putih (bermakna irigasi yang airnya bagus), cangkul, pupuk, dan ruas bambu kuning agar padi terhindar dari serangan hama. Penyerahan ini secara simbolis diberikan dari perangkat desa pada pemuda dan pemudi.
Ini merupakan simbolisasi dari pewarisan agenda menanam padi sebagai bagian dari program ketahanan pangan penduduk setempat. Agenda pewarisan ini kemudian menjawab mengapa dalam Ngarot yang diketengahkan justru pemuda dan pemudi, bukan pak tani dan bu tani yang terbiasa di sawah.
Sejarah Ngarot memang bermula dari penyerahan lahan sawah seluas 2.610 hektar milik Kuwu Kapol yang menjabat Kuwu Lelea pada 1646. Kuwu Kapol menyerahkan lahannya tersebut pada kuwu penerusnya untuk digarap oleh kaum muda.
Sehingga tradisi Ngarot pun dimulai dari sang Kuwu ini. Adapun prosesi tambahan yang dipercaya oleh masyarakat setempat soal temu jodoh, memang menjadi bagian dari tradisi yang menyertai Ngarot.
Tradisi yang menabukan pemuda setempat menikah dengan pemudi di luar wilayah itu, atau sebaliknya, menjadi tradisi yang menyertai Ngarot. Ini menjaga agar pewarisan kultur, baik kultur prosesi adat maupun semangat menanam padi itu tak luntur ketika ada akulturasi dengan penduduk dari wilayah lain.
Pelaksanaan Ngarot di kecamatan Lelea berbeda-beda waktunya antara satu desa dengan desa lainnya. Yang lebih masyhur memang ada di Desa Lelea sendiri, namun tak mengurangi nuansa sakralnya. Ngarot pun ada di desa sekitarnya, seperti Tamansari, Tugu, maupun Jambak (Kecamatan Cikedung).
Anomali cuaca yang telah terjadi satu dekade ini mengakibatkan terik yang menyengat masih setia di atas langit saat prosesi Ngarot di medio November dan Desember.