Bridge of Spies berlatar belakang perang dunia kedua dimana perang dingin sedang berkecamuk begitu kencang. Inilah pertama kali Tembok Berlin berdiri, yang menjadi penanda mana Blok Barat dan mana Blok Timur.
Review Bridge of Spies (2015): Kisah Spionase Era Perang Dingin
Saat itu pula kondisi negara-negara yang terlibat perang dingin ini sangat sensitif, saling curiga dan begitu waspada terhadap setiap gerakan dari blok lawannya. Sebagai sebuah film dengan tema politik luar negeri yang begitu kental, Bridge of Spies memang cukup hati-hati dalam mengambil setiap narasi.
Dan untunglah orang yang berada di balik film yang meraih beberapa nominasi Oscar ini adalah Steven Spielberg. Sineas senior Hollywood dengan segudang pengalaman. Ditambah pula Spielberg mengarahkan sosok yang pernah empat kali tandem bersamanya, Tom Hanks.
Mereka berdua menjadi garansi betapa Bridge of Spies menawarkan sebuah rekonstruksi sejarah yang cukup epik, namun tak kekurangan unsur dramatik, serta dialog-dialog yang cakap. Namun perlu diketahui, meski berlatar perang dunia kedua, ini bukanlah semacam Saving Private Ryan, meski ada Tom Hanks dan Steven Spielberg di dalamnya. Meski sekali-kali ada unsur action-nya, namun narasi besar film ini lebih melulu soal lobi antar negara, pun yang sedang terancam bakal perang.
Bridge of Spies menceritakan tentang seorang pengacara keuangan, asuransi lebih tepatnya. James B. Donovan (Tom Hanks), atau biasa dipanggil Jim, kemudian semacam terjebak pada sebuah kondisi dimana ia mesti mendampingi seorang tertuduh mata-mata Jerman Timur, Rudolf Abel (Mark Rylance)..
Sekadar informasi, berkat aktingnya disini, Mark sukses menyabet Oscar 2016 sebagai Aktor Pemeran Pendukung Terbaik. Alasan yang masuk akal mengapa Amerika masih ‘menyempatkan’ diri membela Abel adalah pencitraan bahwa mereka adalah negara demokratis.
Nah, Jim terjebak disini. Sebagai pengacara, tentu saja ia mengambil jalur profesional. Hanya saja pemikiran orang tak sama dengan dirinya. Pembelaan terhadap public enemy, apalagi ini mata-mata negara, tentu saja menjadikan Jim adalah sosok yang dibenci pula.
Namun suasana berangsur-angsur memihak pada Jim. Saat itu, seorang pilot pesawat pengintai (pesawat U-2) milik Amerika ditembak jatuh di wilayah udara Jerman Timur. Untunglah sang pilot, Francis Gary Powers (Austin Stowell) berhasil selamat meski kemudian disandera.
Inilah saat-saat dimana Jim memiliki posisi tawar selaku pengacara Abel. Ia memposisikan diri sebagai negosiator untuk membebaskan Gary yang ditawan pihak Jerman Timur, yang secara resmi berada di wilayah Rusia.
Sayangnya, situasi bertambah pelik kala di saat yang sama, seorang mahasiswa Amerika di Jerman, Frederic Pryor (Will Rogers) pun ditangkap oleh tentara Jerman Timur. Mampukah Jim membebaskan dua keduanya? Sepertinya ending-nya bisa ditebak, bukan?
Dari keseluruhan cerita, saya sempat bertanya-tanya, mengapa Spielberg perlu berlama-lama dengan kisah antara Jim dan Abel? Sementara judulnya menawarkan sebuah kisah, yang mungkin khas dengan film-film spionase yang bertabur aksi. Bahkan kita pun tak melihat Bridge of Spies semacam Argo, yang menemui ketegangan justru ketika proses diplomatik berlangsung.
Mengapa harus Jim dan Abel yang mengambil porsi paling besar? Jawabannya soal ending yang mudah ditebak itu. Spielberg paham bahwa selain film ini menyangkut kisah nyata, yang mungkin ada begitu banyak orang yang tahu akhirnya seperti apa, ia butuh ramuan agar film ini tetap memiliki ruhnya sendiri. Dan kisah Jim dan Abel itulah ramuannya.
Spielberg membiarkan hubungan dua orang ini terjalin erat. Hubungan antara tertuduh spionase, dimana ancamannya hukuman mati, juga disaat yang sama Jim menjadi sosok yang dimusuhi oleh publik Amerika. Posisi Jim yang membuat Abel terkesan. Eksplorasi inilah yang membuat Bridge of Spies mampu menawarkan opsi lain dari sekedar adegan spionase.
Imbas dari cerita tentang spionase semacam ini tentu saja pada ceruk penikmat filmnya. Bridge of Spies menawarkan sesuatu yang mungkin tak begitu disukai oleh para pemuda yang gandrung dengan film aksi, dan pada saat yang bersamaan, film ini pun tak menonjolkan spionase yang ditawarkan oleh film-film lainnya.
Lalu enaknya dimana? Simak ruang drama ketika Jim jadi musuh publik Amerika, lihat bagaimana kondisi keluarganya, juga lihat tragedi kemanusiaan saat pertama kali dibangun tembok Berlin. Semuanya menawarkan sesuatu yang lain, yang mungkin tak didapatkan di film bertemakan diplomasi antar negara.