Rini Novita Sari
Rini Novita Sarihttps://besoklusa.com
Blogger dan content writer

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

film the lobster

The Lobster masuk kategori film festival. Untuk itulah, sepanjang filmnya kita bakal disuguhkan oleh metafora yang bertaburan dimana-mana.

Bahkan sejak awal film, sang sutradara Yorgos Lanthimos membawa kita untuk mengalami hal yang cukup absurd. Pada awal film tersebut sudah disuguhkan sebuah adegan dimana seorang perempuan menembak seekor keledai.

Mengapa hanya satu yang ditembak dari tiga ekor keledai yang ada disitu? Tak ada penjelasan sama sekali. Bahkan film langsung lompat ke dalam dialog di sebuah rumah dimana seorang pria sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang yang akan membawanya pergi dari rumahnya.

Pelan tapi pasti, The Lobster menjelaskan semuanya. Kisahnya berada pada era distopia dimana pemerintah membuat sebuah aturan yang melarang hidup membujang, tuna asmara, atau jomblo. Mereka yang membujang pada usia tertentu, atau berpisah dari istri atau suaminya bakal diangkut ke dalam sebuah hotel.

Di hotel tersebut, para tuna asmara itu diberikan waktu selama 45 hari untuk menemukan pasangan. Mereka diberikan perlakuan mekanis tentang apa beda orang-orang yang menyendiri dengan yang punya pasangan.

Pun untuk merangsang naluri alami mereka, para jomblo diberikan rangsangan setiap pagi oleh para pelayan hotel (!) Tak hanya itu, untuk segera memancing mereka punya pasangan, setiap jomblo dilarang untuk ‘swalayan’.

Apa yang terjadi setelah 45 hari dengan jomblo yang tak mendapat pasangan? Mereka bakal diubah menjadi hewan. Iya, hewan betulan. Ini terjadi pada seorang perempuan cantik dengan rambut begitu bagus.

Dia, karena perfeksionis dengan rambutnya, memilih diubah menjadi kuda poni. Tokoh utama kita, David, yang diperankan oleh Colin Farrell, memilih menjadi seekor lobster apabila gagal mendapat pasangan. Lobster, bagi David, punya usia yang panjang, berdarah biru, juga hidup di laut, dan ia senang berada di laut. Pengubahan inilah yang kemudian memahamkan kita akan suguhan di awal film.

Setiap orang bakal mendapat tambahan waktu apabila mereka berhasil menembak pingsan para jomblo yang kabur dari hotel. Satu hari tambahan untuk satu jomblo buruan yang tumbang. Kelompok yang disebut The Loner itu memang diburu layaknya hewan, namun memakai peluru bius.

Di hotel, David berkawan dengan si pincang (Ben Whishaw) dan si cadel (John C. Reilly). Lanthimos bersama pembantu penulis skneario, Efthymis Filippou, rupanya tak memusingkan dengan nama para tokoh, karena ia lebih mementingkan pencirian dari karakter tersebut. Manusia hanya simbol dari apa yang diperankannya. Ini metafora yang berupaya diwujudkan oleh Lanthimos dalam The Lobster.

Lanthimos berupaya melakukan satir atas kehidupan mekanis manusia belakangan ini. Manusia yang punya kuasa tidak membebaskan manusia lainnya untuk berpikiran sesuai dengan perasaan sendiri. Bahkan untuk memiliki pasangan pun, kecocokan satu sama lain, baik soal fisik maupun perilaku, mesti jadi pertimbangan satu-satunya.

Lihat apa yang terjadi pada David dengan si rambut indah yang diubah jadi kuda poni, kemudian kisah David yang berpura-pura jahat demi menggaet si wanita tanpa perasaan. Contoh lainnya juga terlihat dari teman David, si pincang, yang berupaya menggaet wanita mimisan dengan membuat hidungnya juga mimisan, baik dengan membenturkannya di benda keras maupun menyayat hidungnya agar keluar darah. Bahkan saling cocok ini bukan hanya aturan di hotel saja, namun sudah tepatri dalam setiap hubungan antar manusia. Dan sialnya sangat-sangat mekanis. Puncak soal kecocokan ini, kita bakal tahu saat ending.

The Lobster tentu saja berupaya menyindir kita semua, yang mencari pasangan berdasarkan apakah dia kaya, apakah dia cantik atau tampan, atau secara lebih luas apakah dia sesuai dengan kriteria-kriteria mekanis yang berada pada tataran fisik. Kita menjalani itu semua dengan kebanggaan, padahal dengan kelakuan tersebut justru menjadikan manusia menjadi aneh dan tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan.

Cast yang menyertai The Lobster pun bukan sembarangan, selain Colin Farrell, Ben Whishaw, John C. Reilly, Jessica Barden, juga ada Rachel Weisz, Ashley Jensen, dan Angeliki Papoulia. Buat yang nggak suka film-film bertabur metafora semacam ini, memang sebaiknya tak usah menontonnya.

Apalagi ditambah sedikit dark comedy, yang ini pun sudah membuat mata memicing. Namun The Lobster cukup menghibur buat menjadi tontonan dan menyimak lingkungan sekitar sembari berujar, “Ah, untung nggak kayak gitu.”

Review The Lobster (2015): Sebuah Satir Bagi Kehidupan Manusia Yang Mekanis